Senin, 07 November 2011

Mengatasi Konflik Antar Pribadi

Fini Erna Dewi
2KA26
12110786

Mengatasi Konflik Antar Pribadi

Seorang sahabat melebihi teman. Dia selalu ada ketika kita dalam keadaan susah maupun senang.” Itu adalah sebuah nasihat bijaksana yang sering kita dengar tapi belum tentu kita alami. Kita selalu mengharapkan yang terbaik dari seorang sahabat karena hubungan khusus yang telah terjalin baik dengannya merupakan indikasi bahwa ia adalah orang yang dapat kita percayai. Kita selalu berpikir bahwa seorang sahabat ideal adalah sahabat yang selalu memahami masalah yang sedang kita hadapi dan mampu memberikan dukungan secara moral kepada kita. Namun demikian, jika seandainya terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan seperti pertengkaran atau pengkhianatan, apa yang akan kita lakukan ?

Konflik terjadi ketika dua orang yang berbeda tidak dapat menerima tindakan yang diambil oleh salah satu dari mereka atau salah satu dari mereka tidak ingin temannya melakukan suatu tindakan baru. Penyebab konflik dapat berasal dari berbagai hal, termasuk dari hubungan interpersonal. Ciri yang paling jelas dari konflik interpersonal akan tampak ketika seseorang menolak untuk bekerjasama dengan orang lain karena ia tidak percaya kepada orang itu, merasa bahwa orang lain tidak menghargainya atau tidak percaya bahwa orang lain juga memiliki sisi kejujuran sehingga selalu muncul kecurigaan terhadap orang itu. Jika seseorang mulai menarik diri atau menghindari orang tertentu, maka hal ini merupakan tanda awal terjadinya konflik yang lebih dalam lagi sehingga akan mendorong munculnya perilaku agresif, misalnya menyerang dengan kata-kata tajam, bersikap memusuhi, atau menyebar fitnah tentang orang yang sedang berkonflik dengannya. Apabila hal ini terus-menerus berlangsung dalam jangka waktu lama, sangatlah mungkin jika hubungan dua orang yang tadinya harmonis menjadi berantakan. Oleh karenanya, jika kita ingin memperbaiki hubungan dengan orang lain, maka kita dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:

(1) Milikilah komitmen untuk menyelesaikan masalah. Ini adalah sebuah tanda bahwa kita mengasihi orang itu. Kasih Kristus adalah kasih yang aktif, artinya hati yang tetap mengasihi walaupun orang lain membenci kita. Jika kita merasa benar sehingga berhak untuk marah dan menghakimi teman itu, maka kita perlu memahami bahwa Alkitab berkata, “... Janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu” (Ef. 4:26). Jika demikian, apakah kita mampu menahan matahari terbenam dengan kemarahan kita itu? Tidak mungkin! Maka kuasailah amarah kita karena hal itu tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Tuhan (Yak. 1:19-20). Hal ini tidak berarti kita tidak boleh marah, karena marah adalah suatu hal yang manusiawi (Yoh. 2:13-25). Namun janganlah memendamnya karena hal itu akan membuat kita menjadi pribadi yang memiliki sifat pemarah, mudah benci dan dendam sehingga kita jatuh ke dalam dosa. Janganlah kita memberikan kesempatan pada Iblis, karena kita tahu maksudnya (2 Kor. 2:10-11).

(2) Jika seteru kita tidak mau berdamai, maka kita harus mau mengalah dan rendah hati. Mau mengalah bukan berarti kalah. Mengalah berarti kita sedang menggunakan cara yang dewasa untuk menghadapi konflik yang sedang terjadi. Tanda bahwa kita mengalah dengan teman kita itu adalah kemauan untuk berbesar hati. Jika kita berbesar hati, maka secara tidak langsung akan mendorong kita untuk bersikap rendah hati. Dengan kerendahatian, kita mau menyelesaikan konflik terhadap orang yang memiliki masalah dengan kita. Mulailah menjalin komunikasi dengan orang itu dan berhentilah mencelanya.

(3) Berbuat baik kepada orang yang sedang berkonflik. Ini berarti kita sedang menumpukkan bara api di atas kepalanya (Rm. 12:20-21). Berbuatlah hal-hal yang disukai atau berilah barang-barang yang menjadi kesukaannya. Ini adalah langkah konkret untuk mempraktikkan pengampunan.

(4) Melihat konflik sebagai waktu untuk mengalami pertumbuhan emosi dan rohani. Alkitab menjelaskan, ”Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya” (Ams. 27:17). Konflik memang merupakan cara Tuhan untuk mendewasakan karakter kita. Jika kita melihat orang yang sedang berkonflik sebagai alat Tuhan untuk membentuk karakter kita menjadi dewasa, maka kita dapat menyambut konflik itu dan berkata, ”Selamat datang masalah, kamu ada sekarang untuk menjadi partnerku untuk menuju kepada kedewasaan sejati.” Kedewasaan tidak diukur dari usia jasmani, namun dari keputusan kita untuk menerima dan memberkati musuh.
Sumber: Renungan Pagi, Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar